LGN JKARTA — Sebagaimana yang pernah saya kemukakan sejak awal menghempasnya gelombang protes para kader dan para pendiri Partai Demokrat terhadap kepengurusan DPP Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang melihat banyaknya manipulasi AD/ART Partai Demokrat 2020, dimana Trio Yudhoyono (SBY, AHY dan Ibas) yang menguasai seluruh pucuk pimpinan partai, bahkan Fraksi Partai Demokrat di DPR RI, hingga berujung pada diselenggarakannya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang Sumatera Utara 5 Maret 2021, bahwa pada akhirnya dominasi keluarga Cikeas di Partai Demokrat akan segera berakhir. Ini semua terjadi bukan karena seperti yang selama ini meraka tuduhkan, bahwa kekuatan istana ada di belakangnya, melainkan semata karena sikap SBY sendiri yang terlalu berlebihan memaksakan kehendaknya yang ingin menjadikan Partai Demokrat sebagai “Partai Keluarga Cikeas”.
Keputusan Kemenkumham yang menolak pengesahan Partai Demokrat hasil KLB merupakan bukti nyata tiadanya campur tangan istana terhadap persoalan kisruh internal Partai Demokrat, dan seperti menjilat ludah sendiri SBY dan AHY berbalik memuji-muji Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang sebelumnya mereka kritik habis-habisan karena dianggapnya Pemerintah melalui Kemenkumham telah diam-diam mendukung diadakannya KLB Partai Demokrat di Sibolangit Deli Serdang. Namun seperti pasukan yang tengah dimabuk euforia kemenangan hingga mereka lengah dan tak mewaspadai pergerakan lawan-lawan politiknya (DPP Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang) yang masih terus berjuang menempuh jalur hukum untuk memperoleh kemenangannya, Trio Yudhoyono tiba-tiba panik luar biasa, manakala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan Partai Demokrat kubu AHY yang diajukannya untuk menggugat belasan orang pendiri dan peserta KLB Partai Demokrat Deli Serdang.
Kubu AHY sepertinya telah mengira bahwa keputusan Kemenkumham yang telah memenangkannya, adalah akhir dari segala-galanya. Akhir dari padamnya gelombang “pemberontakan politik” para pendiri dan kader Partai Demokrat sendiri terhadap kepemimpinan AHY dan SBY yang inkonstitusional. Akhir dari perjuangan hukum para pendiri dan kader Partai Demokrat yang sebelumnya telah melakukan serangan perang kilat dan mendadak tanpa terbaca oleh Trio Yudhoyono bersama para loyalis pragmatis dan oportunisnya, terhadap kekuasaan Trio Yudhoyono yang berkuasa di Partai Demokrat tanpa batas. Namun Trio Yudhoyono lupa, atau mungkin sama sekali tidak mengerti, bahwa keputusan Kemenkumham yang telah memenangkannya, barulah sebuah babak awal dari perjuangan hukum panjang berikutnya yang jauh lebih menentukan mengenai legalitas kepengurusan partai politik.
Mungkin karena begitu tebalnya telinga mereka yang tak terbiasa mendengar suara kebenaran diluar dirinya, hingga mereka (kubu AHY) sama sekali tidak memperhatikan pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mempersilahkan DPP Partai Demokrat hasil KLB untuk memperjuangkan keabsahannya melalui jalur pengadilan, pada saat Pak Menteri mengumumkan keputusan penolakannya. Di sisi lain para pengurus DPP Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang, benar-benar memanfaatkan celah hukum itu dengan mengajukan gugatan ke ke PTUN Jakarta, dan dengan tekun, aktif serta tangkas menghadapi gugatan kubu AHY di PN Jakpus yang akhirnya para pendiri dan peserta KLB Partai Demokrat memperoleh kemenangan gemilang, dengan ditolaknya gugatan kubu AHY oleh PN Jakpus. Inilah titik awal kemenangan DPP Partai Demokrat hasil KLB yang akan menentukan kemenangan mereka berikutnya di PTUN.
Trio Yudhoyono rupanya paling senang dengan nama-nama populer dan mentereng untuk dijadikan ujung tombak peperangan politik dan hukumnya, karenanya tidak heran Trio Yudhoyono telah menunjuk Bambang Widjojanto (mantan pimpinan KPK) dan terakhir Hamdan Zoelva (mantan Ketua MK) sebagai kuasa hukum terdepannya. Tetapi Trio Yudhoyomo lupa, bahwa perang politik dan hukum tidaklah ditentukan oleh seberapa tinggi popularitas seseorang, melainkan seberapa tinggi integritas dan intelektualitas seseorang. Maka jangan heran yang kemudian terjadi, Bambang Widjojanto kalah di PN Jakpus dan Hamdan Zoelva “oleng” dalam setiap menyuguhkan opini hukum di berbagai media. Entah apa yang sesungguhnya terjadi, apakah karena HZ tidak begitu menguasai persoalan hukum yang sedang ditanganinya, ataukah HZ mendapatkan masukan-masukan yang keliru dari para pembisik yang menyembah Trio SBY.
Pertama, misalnya mengenai batas tenggang waktu gugatan kubu DPP Partai Demokrat hasil KLB ke PTUN, dikomentari oleh HZ dengan mengatakan sudah kadaluarsa karena harusnya maksimal 90 hari sejak keluarnya Keputusan Kemenkumham, namun pada kenyataannya gugatan itu diajukan ke PTUN oleh DPP Partai Demokrat hasil KLB belumlah sampai batas akhir yang ditentukan, yakni 90 hari terhitung semenjak dikeluarkannya Keputusan Kemenkumham R.I atas keabsahan/penolakan kepengurusan Partai Demokrat. Kedua, menurut HZ gugatan DPP Partai Demokrat hasil KLB ke PTUN adalah kabur karena tidak memiliki legal standing. Padahal dalam kenyataannya, HZ tidak hadir dalam sidang persiapan gugatan di PTUN hingga HZ tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya. Selain itu dalam Dismissal Process di PTUN pun, telah dinyatakan oleh hakim bahwa gugatan DPP Partai Demokrat hasil KLB terhadap Menkumham sebagai Tergugat utama dan DPP Partai Demokrat AHY sebagai Tergugat intervensi dinyatakan layak untuk diproses atau dilanjutkan dalam persidangan berikutnya, ini artinya bahwa gugatan DPP Partai Demokrat hasil KLB ini memiliki legal standing yang jelas, dan semua itu dapat dibuktikan pula dengan adanya Akta Pernyataan Keputusan Sidang KLB Partai Demokrat 2021 dihadapan Rahmiatani, SH. Notaris di Medan dengan Nomor:02, tanggal 7 Maret 2021.
Dalam sebuah kesempatan, HZ di depan berbagai awak media juga memberikan penilaian, bahwa gugatan 150 Kabur dan Tidak jelas pada tanggal 14 Juli 2021, padahal Kubu AHY ditetapkan sebagai pihak tergugat intervensi baru pada tanggal 5 Agustus 2021, lalu dari mana HZ membaca isi gugatan padahal HZ baru melihat gugatan 150 pada tanggal 5 Agustus 2021?. Pertarungan politik dan hukum antara DPP Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang versus DPP Partai Demokrat pimpinan Trio Yudhoyono, nampaknya semakin menunjukkan tanda-tanda kesimpulan akhirnya, yakni telah meningkatnya secara drastis poin demi poin kemenangan untuk DPP Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang. Jika nantinya kemudian PTUN memenangkan DPP Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang, maka celah perlawanan balik dari DPP Partai Demokrat Trio Yudhoyono agar menang akan tertutup rapat, bukan oleh karena prosedur hukum yang sebenarnya masih memungkinkan kubu Trio Yudhoyono untuk melakukan upaya hukum berikutnya, melainkan karena semata kewajiban semua Parpol untuk mengikuti jadwal perhelatan besar Demokrasi 2024, dimana di awal tahun 2022, ferivikasi Partai Politik oleh KPU sudah mulai dilaksanakan. Jika DPP Partai Demokrat pimpinan AHY tidak dapat menyelesaikan persoalan kisruh internalnya, apalagi jika kemudian nantinya PTUN memenangkan gugatan DPP Partai Demokrat hasil KLB, maka DPP Partai Demokrat pimpinan mantan “pelarian” Mayor AHY akan tamat riwayatnya, distop oleh Undang-Undang untuk ikut serta sebagai kontestan Parpol di PEMILU 2024. Kecuali jika Sang Mantan “pelarian” Mayor bersedia tunduk pada supremasi hukum, yang berarti ia harus menyerah, legowo, dan kembali bersatu dengan para Pengurus DPP Partai Demokrat hasil KLB yang dipimpin oleh Sang Mantan Jenderal bintang empat, Dr. Moeldoko. Pahit memang, namun harus tetap AHY dan keluarganya telan, karena itulah obat yang paling mujarab untuk para pemuja Dinasti Politik yang tak mencerahkan dan tak sesuai dengan tuntutan kemodernan zaman !…(SHE).
Jakarta, 3 September 2021.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik, serta Mantan Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Berlin Jerman tahun.1994-1995.