LGNEWS BANDARLAMPUNG — Langkah Gubernur Arinal Djunaidi mengeluarkan SK Nomor: G/293/VI.02/HK/2022 soal Penetapan Sewa Tanah Kota Baru yang Belum Dipergunakan untuk Kepentingan Pembangunan Provinsi Lampung, tertanggal 22 April 2022, sesungguhnya bertentangan dengan Perda Nomor: 13 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) 2019-2024, dimana dimuat dalam perda tersebut rencana pemindahan ibukota provinsi ke kawasan Kota Baru dan kawasan ini menjadi salah satu prioritas percepatan pengembangan kawasan strategis di Provinsi Lampung.
Meski demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan terbengkalainya lahan seluas 1.589 hektar tersebut, telah dimanfaatkan warga untuk bercocok tanam.
SK Gubernur Lampung. Bernomor: G/293/VI.02/HK/2022 tanggal 22 April 2022, tentang Penetapan Sewa Tanah Kota Baru yang Belum Dipergunakan untuk Kepentingan Pembangunan Provinsi Lampung itu mencantumkan harga sewa Rp 300 per-meter persegi per-tahun. Tarif membisniskan lahan ini sesuai dengan sewa pemakaian lahan untuk pertanian seperti yang diatur dalam Perda Nomor: 14 Tahun 2019.
Sukseskah Pemprov Lampung mendulang pendapatan dari membisniskan lahan Kota Baru tersebut? Ternyata, bisa dibilang hanya menangguk recehan.
Mengacu pada register STS dari aplikasi SIPPKD diketahui, terdapat 368 transaksi pembayaran sewa tanah kawasan Kota Baru dengan luasan 5.062.282 m2. Namun tidak tercatat besarannya. Sedang menurut BPK RI Perwakilan Lampung dalam LHP atas Laporan Keuangan Pemprov Lampung Tahun 2022, hingga 23 April 2023 hanya terdapat penambahan pembayaran dari 28 penggarap dengan nilai Rp 133.996.200 atas lahan seluas 446.654 m2.
BPK menjelaskan, berdasarkan keterangan satgas pengamanan lahan Kota Baru, jumlah orang yang memanfaatkan dibisniskannya kawasan itu sekitar 900 orang. Disimpulkan oleh BPK, hingga akhir April lalu masih terdapat sekitar 532 petani penggarap yang belum memenuhi kewajibannya.
Ironisnya lagi, membisniskan kawasan Kota Baru yang ditengarai hanya menambah pundi-pundi pendapatan Pemprov Lampung kelas recehan karena diperkirakan tidak lebih dari Rp 150 juta tersebut, fakta di lapangan menunjukkan bila satgas tidak memiliki catatan yang memadai untuk memastikan jumlah sebenarnya dari penggarap, pun luas lahan yang digarapnya.
Hasil temuan BPK menuliskan, sebenarnya satgas telah melakukan penagihan secara langsung kepada petani yang memanfaatkan lahan Kota Baru, namun sayangnya tidak pernah diterbitkan surat ketetapan retribusi daerah (SKRD) terkait hal ini. Akibatnya, membisniskan lahan di Kota Baru ini hanya sekadar agar kawasan tersebut tidak menjadi wilayah bersemak-belukar semata.
Seperti diberitakan sebelumnya, menjelang lengsernya Arinal dari kursi gubernur akhir tahun nanti, banyak pihak yang menyoal tidak seriusnya ia mewujudkan Kota Baru sebagai kompleks kantor pemerintahan Pemprov Lampung.
Salah satu tokoh yang mengkritisi Arinal adalah politisi senior, Yandri Nazir.
“Kita fair sajalah. Bisa dikatakan masa Arinal sekarang ini, tidak ada pembangunan apa-apa. Yang sudah ada saja malah dihilangkan,” ucap mantan anggota DPRD Lampung dua periode itu, Sabtu (23/9/2023).
Politisi senior yang kini bergabung di Partai Perindo itu melanjutkan, di antara beberapa hasil pembangunan oleh gubernur-gubernur sebelumnya yang justru dihilangkan di masa kepemimpinan Arinal adalah GOR Saburai, Taman Gajah, dan Teropong Bintang.
“Gedung Perpustakaan Daerah yang tinggal dimanfaatkan maksimal sesuai perencanaan saja, sampai sekarang juga tidak jelas realisasinya. Hanya dijadikan kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan. Jadi, jangan kan soal Kota Baru yang sejak 2013 sudah ditetapkan sebagai kawasan kompleks perkantoran Pemprov Lampung, fasilitas yang sudah ada saja malah dihilangkan. Kiranya perlu diingatkan pada Gubernur Arinal, bahwa membangun itu bukan berarti menggusur. Karena hal itu dua kegiatan yang berbeda,” tutur Yandri Nazir yang menapaki karier dunia politiknya di Partai Demokrat.
Menurut dia, ke depannya rakyat Lampung perlu benar-benar selektif dalam memilih gubernur – wakil gubernur. Karena jika salah pilih seperti sekarang ini, bukan keberlanjutan pembangunan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan kemajuan daerah yang terjadi, melainkan terjebak dalam putaran program pembangunan yang tidak terarah.
“Kalau gubernur tidak memegang teguh etika keberlanjutan pembangunan dengan memperbaiki yang kurang dan meningkatkan yang sudah baik, Provinsi Lampung akan semakin tertinggal dari provinsi-provinsi yang lain. Tentu kita semua sebagai rakyat Lampung tidak menginginkan hal itu terjadi,” lanjutnya.
Dikatakan, saat ini aset pemprov yang dibiarkan terbengkalai di kawasan Kota Baru sebanyak 51 bangunan dan gedung, dengan nilai tidak kurang dari Rp 500 miliar.
Yandri mengaku heran dengan langkah pemprov yang justru menyewakan lahan di Kota Baru untuk bercocok tanam.
“Herannya lagi, penyewaan lahan di Kota Baru dilegalkan dengan SK Gubernur Lampung Nomor: G/293/VI.02/HK/2022 tanggal 22 April 2022 tentang Penetapan Sewa Tanah Kota Baru yang Belum Dipergunakan untuk Kepentingan Pembangunan Provinsi Lampung, dengan biaya sewa Rp 300 per-meter persegi per-tahun. Dan akibat tidak ditatanya lahan yang disewakan, jangan kaget kalau di halaman gedung kantor, media jalan, bahkan trotoar, banyak ditanami oleh warga petani setempat. Jangan tersinggung kalau ada yang menilai, kawasan Kota Baru layaknya perumahan hantu,” urai Yandri.
Sebelumnya, Direktur Masyarakat Peduli Demokrasi & Hukum (MPDH) Provinsi Lampung, Jupri Karim, menagih janji Arinal Djunaidi saat kampanye Pilgub 2019 menyatakan kesiapannya menjadikan kawasan Kota Baru sebagai kompleks perkantoran Pemprov Lampung yang telah dirintis oleh Syahroedin ZP dan dimatangkan oleh Ridho Ficardo saat mereka menjabat gubernur.
“Dulu saat kampanye pilgub, Arinal berjanji akan menyelesaikan pembangunan Kota Baru. Tapi faktanya, sampai sekarang tidak terbukti. Sebagai bagian dari elemen masyarakat Lampung, kami menagih janji Arinal soal Kota Baru,” kata Jupri Karim, Jum’at (22/9/2023).
Menurut dia, sebagai pejabat yang ikut terlibat langsung dalam proses lahirnya Kota Baru, seharusnya Arinal lebih mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan kompleks perkantoran Pemprov Lampung di lahan 1.580 hektare tersebut.
“Saat dimulainya pembangunan tahun 2011 lalu, Arinal termasuk salah satu pejabat di lingkungan Pemprov Lampung yang terlibat aktif dalam proses lahirnya Kota Baru dipimpin Sjachroedin ZP selaku gubernur waktu itu. Awalnya, dengan Arinal menjadi gubernur, kami optimis program pemindahan pusat perkantoran Pemprov Lampung ini bakal terwujud. Tapi sayangnya, sampai menjelang akhir jabatan, dia tidak bisa memenuhi harapan besar masyarakat Lampung ini,” imbuh aktivis yang dikenal sebagai pengamat politik, pemerintahan, dan hukum itu.
Diuraikan, meski pembangunan gedung dimulai tahun anggaran 2011, namun Sjachroedin ZP selaku gubernur dan DPRD Lampung baru pada 20 Mei 2013 menetapkan Peraturan Daerah Nomor: 2 Tahun 2013 tentang Pembangunan Kota Baru Lampung. Di dalam perda tersebut berisi mengenai pemindahan pusat perkantoran dan pemerintahan Provinsi Lampung dari wilayah Kota Bandar Lampung ke Kabupaten Lampung Selatan, tepatnya di wilayah Kecamatan Jati Agung.
Jupri menjelaskan, seiring berjalannya waktu hingga 10 tahun program Kota Baru berjalan, telah berdiri 51 gedung. Sayangnya, yang saat ini dipergunakan hanya Rumah Sakit Bandar Negara Husada dan rumah susun bagi pegawai rumah sakit saja.
“Menurut hasil pemantauan di lapangan, hanya gedung milik Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi yang ada petugas jaga dan kebersihannya. Dan sejak beberapa bulan terakhir, sudah ada memang petugas pengamanan kawasan Kota Baru. Dalam konteks mengamankan aset daerah, sudah benar.
Masalahnya, uang rakyat Lampung yang sudah masuk ke Kota Baru tidak sedikit, lebih dari 500 miliar. Tentu sangat disayangkan kalau puluhan bangunannya sampai sekarang mangkrak. Mubazir ratusan miliar uang rakyat selama ini mengendap di Kota Baru,” urai Jupri Karim.
Ditambahkan pengamat politik, pemerintahan, dan hukum dari UIN Raden Intan Lampung itu, meski Gubernur Arinal Djunaidi telah mengeluarkan surat keputusan nomor: G/112/VI.02/HK/2022 mengenai pembentukan tim satuan tugas pengamanan lahan dengan tugas dan fungsi menjaga seluruh kawasan Kota Baru, termasuk di dalamnya menjaga dan memelihara gedung-gedung yang ada, hal tersebut bukanlah sesuatu yang substansial dalam mewujudkan janjinya saat kampanye Pilgub 2019 silam.
Menurut Jupri, sebenarnya tidak ada alasan bagi Arinal untuk tidak mewujudkan Kota Baru sebagaimana diniatkan sejak awal oleh Sjachroedin ZP. Karena secara aturan telah memiliki landasan yang kuat dan dokumen perencanaan. Seperti Perda Nomor: 13 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019-2022 dan Peraturan Gubernur Nomor: 23 Tahun 2021 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Lampung Tahun 2022.
“Nyata-nyata Perda Nomor: 13 Tahun 2021 tersebut telah memuat rencana pemindahan ibukota ke kawasan Kota Baru. Dan kawasan ini menjadi salah satu prioritas percepatan pengembangan kawasan strategis di Lampung. Anehnya, pada APBD 2022 tidak ada anggaran untuk pembangunan lanjutan di kawasan Kota Baru. Saya tidak paham gaya berpikir Arinal dalam hal ini. Dia yang menandatangani perda, dia sendiri yang mengangkanginya,” pungkas Jupri Karim. (ask)