LGNEWS BANDARLAMPUNG—-Pernyataan Ketua Komisi I DPRD Lampung, Yozi Rizal, yang menyatakan kasus dugaan penganiayaan di kantor BKD Lampung, Selasa (8/8/2023) pekan lalu, murni relasi senior dan junior serta tidak ada hubungannya dengan pemprov maupun BKD, menuai kritik.
Seperti dikutip dari kompas.com, selepas rapat dengar pendapat dengan Kepala BKD, Meiry Harika Sari, dan Kepala Inspektorat, Fredy SM, Yozi Rizal menegaskan, peristiwa yang terjadi di kantor BKD hanya masalah senior dan junior IPDN.
“Sederhana saja, itu masalah senior dan junior, tidak ada dendam, hanya memberi pelajaran. Tapi memang, kebablasan,” kata politisi asal Partai Demokrat itu.
Selain bersikukuh jika kasus penganiayaan di kantor BKD hanya pemberian “pelajaran” dari Deni RZ kepada Ahmad Farhan selaku juniornya, Yozi Rizal juga menambahkan, bila status Farhan yang sempat menjalani perawatan di RSUAM masih magang sebagai calon pegawai.
“Status dia (Ahmad Farhan, red) masih dititipkan kementerian, belum pegawai pemprov,” sambung dia.
Terkait pernyataan Ketua Komisi I yang terkesan “membenarkan” terjadinya dugaan kasus penganiayaan tersebut, praktisi hukum senior, Yulius Andesta, menyampaikan kritiknya.
“Sebagai rakyat, saya sangat menyesalkan pernyataan Ketua Komisi I DPRD Lampung itu. Bagaimana bisa dikatakan tidak ada kaitannya peristiwa hukum (das sein) yang terjadi antara pokok perkara dan objek BKD,” kata Yulius Andesta.
Pria yang telah puluhan tahun menekuni profesi advokat ini menjelaskan, dalam perkara ini sangat jelas bila tempat kejadian (locus delicti) perkaranya di ruang Kabid Mutasi kantor BKD Lampung.
Pun waktu kejadian perkara diluar jam kerja, yang seharusnya nir kegiatan atau kosong dari semua aktivitas.
“Kalau dianggap lembur, kan harus ada surat perintah tugas dari pimpinan instansi. Maka menurut saya, dalam masalah di BKD ini juga bisa dianggap telah terjadi pelanggaran penggunaan aset negara,” imbuh Yulius Andesta.
Ia melanjutkan, pada saat peristiwa terjadi, baik korban maupun pelakunya, masih berpakaian dinas. Karenanya, ada conditio sine qua non atau faktor pemicu sebab akibat melalui kronologis waktu dari pukul 16.00 hingga peristiwa hukum terjadi sekitar pukul 18.30 WIB.
“Dan tidak bisa dipungkiri adanya relasi kuasa antara pelaku selaku eselon III atau pejabat administrator BKD yang langsung berada dibawah eselon II atau Kepala BKD selaku atasan terhukum (ankum) dalam pengawasan melekat atasan dan bawahan. Pun adanya relasi kuasa korban dan pelaku berikut 10 oknum lainnya sesama ASN di lingkup BKD,” urai Yulius Andesta.
Terang-terangan ia menilai, pernyataan Ketua Komisi I DPRD Lampung yang di-publish ke publik, tidak menghadirkan rasa empati kepada keluarga korban penganiayaan di kantor BKD sebagai bagian dari masyarakat Lampung. Padahal Yozi Rizal sebagai Ketua Komisi I adalah wakil rakyat.
“Kalau dikatakan perkara ini tidak ada hubungannya dengan pemprov dan BKD, sederhana saja kok melihatnya.
Mengapa Sekdaprov, Kepala BKD, dan Plh Kadiskominfotik sampai membezoek korban penganiayaan saat dirawat di RSUAM. Juga kenapa pelaku harus dicopot dari jabatannya, kalau itu sekadar pemberian pelajaran dari senior ke juniornya. Saya sangat menyesalkan pernyataan Ketua Komisi I DPRD Lampung yang terkesan ingin membelokkan fakta yang sebenarnya,” tutur Yulius Andesta sambil mengingatkan bila peristiwa di BKD yang saat ini menjadi perhatian masyarakat Lampung itu murni masalah hukum, bukan persoalan politik.
Yulius juga mengemukakan, sikap Kepala BKD, Meiry Harika Sari, tidak mencerminkan perilaku normatif yang sewajarnya untuk dimaklumi secara umum (das sollen), justru cenderung melepaskan diri atas delik kelalaian (dulpa delicti) yang menjadi tanggung jawab jabatan yang melekat pada dirinya.
Praktisi hukum senior ini menilai, selayaknya Meiry Harika Sari dinonaktifkan sementara dari jabatannya sebagai Kepala BKD hingga persoalan ini memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisjde), untuk membuktikan dirinya tidak memiliki relasi kuasa atas peristiwa tersebut.
Terkait dengan haparan Gubernur Arinal untuk menempatkan alumni IPDN yang baru lulus bertugas di kantor kecamatan atau kelurahan, Yulius Andesta menyatakan, yang utama bukan soal penempatan di kecamatan atau kelurahan. Yang penting adalah peristiwa di kantor BKD dapat dijadikan bahan evaluasi dalam pembinaan ASN.
“Jangan juga dilupakan perlunya kolaborasi saat penempatan personil. Lulusan IPDN perlu disatukan dengan ASN alumni universitas lain yang kualitasnya dari sisi akademis maupun sosial kemasyarakatan lebih baik. Sehingga kesan di masyarakat jika yang bisa menjadi pejabat hanya lulusan IPDN, tidak terus berkembang,” sambung Yulius.
Ia meminta jajaran birokrat dan wakil rakyat di Lampung untuk mendukung proses hukum yang tengah dilakukan aparat Polresta Bandar Lampung. Karena kasus penganiayaan di BKD adalah murni masalah hukum, bukan persoalan politik. (fjr)